Selasa, 25 Mei 2010

Si Bung Dalam Kenangan

Si Bung Dalam Kenangan

ZULKIFLI Lubis, 63. Matahari baru bangkit dari tidur Desember 1948. Zulkifli Lubis, overste, yang waktu itu baru berumur 25 tahun, bergegas ke MKMD (Markas Besar Komando Djawa). Kantor nyaris kosong. Padahal, di langit Yogyakarta, pesawat tempur Belanda meraung-raung sambil menjatuhkan bom. Sebagai asisten intel, ia telah memperhitungkan kemungkinan tersebut: Belanda menyerang Yogyakarta, ibu kota negara. Perintah Siasat No. I yang dikeluarkan oleh Dewan Siasat Militer sebenarnya menggariskan agar pejabat-pejabat negara terutama Presiden Soekarno, PM Hatta, dan Panglima Besar Sudirman -- menyingkir ke luar kota, manakala kota diserang. Namun, rapat kabinet malah memutuskan, para pejabat sipil tidak perlu mengungsi. Padahal, Zulkifli Lubis sudah menyiapkan tempat pengungsian bagi para pemimpin negeri, di Wonosari Selatan. Karena itu, tidak heran jika kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO bekas overste ini berkata, "Saya kecewa terhadap Bung Karno. Terutama juga kepada Simatupang." Yang disebut terakhir ini adalah Kolonel T.B. Simatupang, Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang adalah perwira yang jumpa Soekarno di Istana dan seharusnya membujuk Soekarno untuk bergerilya, menurut pikiran Lubis. Lubis akhirnya meninggalkan Yogyakarta dengan hati dongkol. Sebab, ia pernah membayangkan Soekarno akan berlaku sebagai seorang Tito, Presiden Yugoslavia, yang berada di tengah laskarnya memimpin gerilya. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, yang mendudukkannya di kubu Kolonel Bambang Supeno, terbukalah pertikaian Zulkifli Lubis dengan KSAD Kolonel A.H. Nasution. Pertikaian itu menyebabkan batalnya pengangkatan Lubis sebagai Panglima TT (Tentara dan Teritorium) I Sumatera. Karena pertikaian itu jugalah ia memutuskan untuk menyembunyikan diri dan menolak panggilan atasan. Ketika terjadi upaya penggranatan atas diri Bung Karno di Cikini, 1957, ia merasa dirinya dikambinghitamkan. "Semua orang menuduh saya yang mendalangi peristiwa itu. Karena saya memang lagi buron," katanya. Padahal, Zulkifli Lubis mengaku dirinya "antikekerasan" dan "tidak punya problem pribadi dengan Bung Karno". Dan, ia pun merasa bersyukur ketika para pelaku Cikini di pengadilan tidak menyeret namanya. Namun, kekecewaannya terhadap pimpinan militer saat itu, dan ketidakpuasannya terhadap kebijaksanaan pemerintah, terutama yang menyangkut hubungan pusat-daerah, menyebabkan ia mengambil keputusan nekat: menggabungkan diri dengan PRRI. Di sana ia menjabat sebagai Koordinator Militer Sumatera. Gerakan separatis ini akhirnya bisa dilumpuhkan oleh ABRI. Zulkifli tertangkap dan dijebloskan ke dalam sel gelap selama 3 tahun 9 bulan, hingga 1966. "Siang hari pun, kalau mau baca koran, mesti pakai lilin. Panasnya di sel itu bukan main. Nyamuknya banyak," ujarnya mengenang. Kendati demikian, ia tidak ingin menyalahkan Bung Karno. "Sebagai pribadi, saya mengagumi beliau." Ia sendiri merasa pernah akrab di tahun 1947-an. Sebagai pimpinan intel, "Saya boleh memasuki kamar tidur beliau." Tahi Bonar Simatupang, 66. Yogyakarta, tahun 1949-1950. Setelah gagal dengan agresi bersenjata, Belanda masih mencoba memakai siasat lain untuk bisa kembali menjajah negeri ini. Untuk sementara, situasi kota kembali seperti semula. Kolonel Simatupang, yang belum lama kembali dari gerilyanya, menghabiskan malam itu melewati Jalan Malioboro. Di mana-mana orang sibuk mengelilingi penjaja gambar Bung Karno dengan pakaian kebesaran lengkap dengan segala atribut tanda jasa. "Mungkin Bung Karno memahami situasi psikologis masyarakat yang menginginkan presidennya tampil dengan uniform beserta tanda-tanda kehormatan," kata Simatupang, pekan lalu. Sebenarnya, ia tidak setuju. "Kalau rakyat dibiasakan melihat tokoh dengan atribut berlebih, maka rakyat akan melihat orang hanya dari seragamnya. Rakyat akan mengukur ketokohan seseorang dari busananya." Maka, pada kesempatan berikut. Simatupang menyampaikan kata hatinya kepada Bung Karno. Ia khawatir, jangan-jangan orang tanpa pakaian seragam dianggap warga kelas dua. Lalu bagaimana reaksi Bung Karno? Bung Karno agak marah mendengar teguran Simatupang. Namun, ia tidak menunjukkan sikap tersebut seketika. Melalui orang lain, Simatupang mengetahui betapa kesalnya Bung Karno terhadap intervensi Simatupang atas busananya. Yang pasti, bintang lima di pundak baju kebesaran Bung Karno, menurut Simatupang, bukan pemberian kalangan militer. Toh Pak Sim masih tetap mengagumi Bung Karno. "Yang pertama-tama, dan terutama, akan saya katakan, dan tetap akan saya katakan, saya melihat Soekarno adalah tokoh yang memberikan kepada kita hal yang paling berharga, yaitu Pancasila," ujar Pak Sim dengan serius. Selamat Ginting, 63. Ketua Umum Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) ini mempertanyakan pemberian gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Bung Hatta. "Apa manfaatnya?" tanya Ginting, agak bernada sinis, memang. Ia ingin gelar itu diberikan setelah ada evaluasi yang komprehensif atas perjalanan sejarah BK. "Masih banyak hal yang gelap atas Bung Karno," katanya. Ginting menyebut contoh pesatnya pertumbuhan PKI selama masa demokrasi liberal. Orang banyak menuduh, pesatnya PKI itu karena berlindung di bawah kharisma Bung Karno. "Sebetulnya, tidak begitu," ujar Ginting. Sistem politik yang amat terbuka dan kabinet yang mudah jatuh bangun itulah yang membuat PKI perkasa. Dan secara konstitusional, Bung Karno tak bisa mengontrol karena, kata Ginting, di luar wilayah kewenangannya. Juga berbagai aksi separatis: DI Kartosuwiryo, Daud Beureueh, PRRI sering disangkutkan dengan kegagalan BK memimpin negeri. Padahal, menurut Ginting, aksi itu timbul di masa kabinet parlementer "Karena para perdana menteri tak becus mengurus negara." Kesimpulan Ginting, "Kita terlalu mudah menyalahkan Bung Karno." Bekas Komandan Resimen Halilintar yang beroperasi di Tanah Karo, Deli Serdang, dan Langkat, ini mengaku tak pernah dekat dengan BK. Tetapi ia mengakui sangat dekat dengan ajaran BK, yakni marhaenisme. Dalam mengenang BK, Ginting mengaku dadanya sesak, "Bung Karno berkeinginan agar dimakamkan di suatu tempat di Jawa Barat, di bawah pohon rindang mengapa permintaan sederhana itu tak dipenuhi." Ginting aktif menjadi anggota DPRGR mewakili PNI. Tahun 1957-1966 dia aktif di DPP PNI, lalu tersingkir sewaktu Osa Maliki dan Usep menguasai PNI. Kini Ginting menjadi Ketua Umum GRM. Masih hidup GRM? "E, enak saja, masih ada, dan akan hidup terus," kata Ginting bersemangat. Amirmachmud, 63. Beberapa minggu setelah G-30-S/PKI pecah, Brigjen Amirmachmud, yang waktu itu menjabat Pepelrada Jakarta Raya (juga Panglima Kodam V) memimpin Barisan Soekarno. Barisan ini siap mengamankan dan berdiri di belakang garis kebijaksanaan Bung Karno. Namun, Amirmachmud, kini Ketua DPR/MPR, membantah mendirikan Barisan Soekarno. "Saya tak pernah membentuk barisan itu," katanya kepada Musthafa Helmy dari TEMPO. "Untuk mengatur keamanan politik, saya menyatakan bahwa rakyat Indonesia itu adalah Barisan Soekarno. Supaya utuh bulat, rakyat tidak diadu." Lantas, komentar tentang Bung Karno? "Penghargaan buat Bung Karno itu harus dikaitkan dengan Pancasila dan UUD 45. Dan itu jasa beliau. Yang mencanangkan politik kepribadian Indonesia itu 'kan beliau sendiri. Kepribadian itu sendiri tak lepas dengan Pancasila. Itu kita harus jujur," kata pelaku peristiwa Supersemar ini. Yang menonjol dari BK? "Ya, kepemimpinannya itu. Pencipta politik Indonesia itu 'kan beliau, harus kita akui," kata Amirmachmud sambil menuju mobilnya. Mohammad Natsir, 78. "Saya mengenal Bung Karno sejak tahun 1930-an, ketika sama-sama di Bandung. Saya sering kali mendengar pidatonya di depan umum. Ia punya bakat tinggi menggerakkan rakyat," inilah awal kenangan Natsir tentang BK yang disampaikan Senin lalu. Akrab sejak muda, tidak berarti sependirian dalam politik. Bung Karno mendirikan PNI, Natsir menjadi Ketua Jong Islamieten Bond dan kemudian memimpin Masyumi. "Namun, tak ada pertentangan terbuka. Malah, sewaktu Bung Karno diadili, golongan Islam turut membantunya dalam arti moril dan materiil. Waktu Bung Karno masuk penjara Sukamiskin, kalangan Islam pula yang mengirimi makanan dan buku bacaan. Perbedaan politik tidak berarti memutuskan hubungan manusiawi", kata Natsir. Setelah Proklamasi, hubungan dua tokoh dari partai berseberangan ini tetap saja baik. Bahkan BK meminta Natsir menyiapkan pidato untuk peringatan HUT Proklamasi pertama, 1946. Kedua tokoh ini berbeda pendapat lagi setelah Konperensi Meja Bundar. Natsir tak setuju hasil konperensi itu, BK sebaliknya. "Namun, saya tetap berjanji kepada Bung Karno untuk membantunya," kata Natsir. BK kemudian memberi jabatan PM kepada Natsir, tapi hanya berumur sembilan bulan, mandat itu dikembalikan Natsir. Beda pendapat pun meruncing. Apalagi di kemudian hari, Bung Karno membubarkan Masyumi. Bagaimanakah kini Natsir melihat BK? "Bersama Bung Hatta, Bung Karno merupakan figur pemersatu bangsa. Namun, jiwa Bung Karno adalah diktator. Bung Karno sebelum Nasakom merupakan orang yang dapat menerima kritik, mau berdebat. Tetapi, setelah Nasakom, ia berubah. Tetapi ia bukan seorang komunis," ini pengakuan Natsir. Gelar Pahlawan Proklamator itu ? "Ia layak mendapatkan penghargaan itu. Gelar itu tepat sebagai tokoh yang menjadi simbol perjuangan rakyat," ujar Natsir lebih lanjut. Tumpal Dorianus Pardede, 70. Tiga foto Bung Karno ukuran besar dipajang di kantor Yayasan Darma Agung di kompleks Universitas Darma Agung, Medan. Paling depan, foto Pardede yang sedang menerima ucapan selamat dari bekas Presiden Soekarno foto kedua, Pardede dilantik menjadi menteri urusan berdikari foto ketiga, Bung Karno berpakaian kepresidenan lengkap dengan tanda jasa. Ada tulisan tangh BK di sana, bunyinya: T.D. Pardede adalah tokoh masyarakat yang sukses menjadi wiraswasta secara berdikari. Pak Katua, panggilan Pardede, memang dekat dengan BK. Tokoh PNI ini mengagumi BK karena paham nasionalismenya. "Bung Karno dalam kepemimpinannya tak pandang bulu terhadap suku bangsa yang ada di Indonesia. Dalam merekrut stafnya, ia tetap mengikutsertakan semua suku, seperti Bugis, Jawa, Batak, Minang, dan Manado," kata Pak Katua. "Ajaran" ini diterapkan Pardede di Universitas Darma Agung. "Kalau dipilih suku Batak saja yang mengelola universitas ini, bisa hancur," katanya. Tak heran kalau pengusaha kaya ini menyambut gembira gelar Pahlawan Proklamator untuk Bung Karno. Cuma, ia tak mau berkomentar lagi tentang kepemimpinan BK. "Saya tak lagi terjun di politik. Salah ngomong, nanti orang tersinggung," kata Pak Katua. Haji Masagung, 60. "Saya sudah tahu bahwa Anda akan menanyakan soal Bung Karno kepada saya, sebelum Anda bertanya," kata Haji Masagung, pengusaha keturunan Cina yang gemar tosan aji ini, kepada Haji Musthafa Helmy dari TEMPO. "Sejak enam bulan lalu, saya yakin pemerintah akan menetapkan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pahlawan." Masagung memang dekat dengan keluarga BK. Sejak kapan? "Sejak Bung Karno mengalami masa sulit, 1967, sampai akhir hayatnya," katanya. "Semuanya karena Allah." Masagung yang banyak menerbitkan buku-buku tentang Bung Karno lalu menceritakan sebuah lukisan tentang Sunan Kalijaga, Bung Karno, dan dirinya yang berurutan dalam tingkat-tingkat. "Itu lukisan H. Jasin Assiri, dibuat sebelum saya mengenal dia. Menurut pelukis paranormal ini, Bung Karno masih keturunan Sunan Kalijaga. Lalu gambar saya di bawah gambar Bung Karno itu, maksudnya, saya mewarisi semangat persatuan Bung Karno," ceritanya. Tentang gelar pahlawan untuk BK? "Ini sebenarnya kehendak Allah. Saya bersyukur sekali, meskipun terlambat datangnya," katanya. Dria Candra Adityanti, 25. Gadis manis berambut sebahu ini adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Omar Dhani, Menteri/Panglima Angkatan Udara di masa Bung Karno. Karena ayahnya dekat dengan BK, layak jika ada potret BK bersama Adityanti yang masih bocah. "Setelah SMP, baru timbul kesan pada diri saya, wah, asyik juga bisa berfoto dengan Presiden," kata mahasiswi Jurusan Sosiologi (tinggal skripsi) FISIP UI ini kepada Mohamad Cholid dari TEMPO. Mahasiswi yang sudah mengikuti penataran P4 pada 1984 ini mengaku lebih tertarik pada masalah sosial, ketimbang politik. Toh, ia tak melepaskan perhatiannya pada perjalanan politik BK-yang ia ketahui justru setelah dewasa, lewat buku bacaan, juga cerita dari ayahnya. Kritiknya kepada BK adalah, "Perpecahannya dengan Bung Hatta saya sesalkan, kenapa Bung Karno harus meninggalkan Bung Hatta. Bukankah untuk konsolidasi ke dalam ia memerlukan Bung Hatta?" Poligami yang dijalankan BK juga dikritik Adityanti. "Ini tentu saja tak terlepas dari kewanitaan saya. Meskipun tindakannya itu menunjukkan bahwa dia tidak munafik," katanya. Tapi gadis ini tak cuma bisa mengkritik, ia pun tidak menyembunyikan kekagumannya kepada BK, tokoh yang baru benar-benar ia kenal pada saat sudah duduk di bangku kuliah. P.S.

15 November 1986
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/11/15/NAS/mbm.19861115.NAS36228.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar