Selasa, 25 Mei 2010

Si Bung Dalam Kenangan

Si Bung Dalam Kenangan

ZULKIFLI Lubis, 63. Matahari baru bangkit dari tidur Desember 1948. Zulkifli Lubis, overste, yang waktu itu baru berumur 25 tahun, bergegas ke MKMD (Markas Besar Komando Djawa). Kantor nyaris kosong. Padahal, di langit Yogyakarta, pesawat tempur Belanda meraung-raung sambil menjatuhkan bom. Sebagai asisten intel, ia telah memperhitungkan kemungkinan tersebut: Belanda menyerang Yogyakarta, ibu kota negara. Perintah Siasat No. I yang dikeluarkan oleh Dewan Siasat Militer sebenarnya menggariskan agar pejabat-pejabat negara terutama Presiden Soekarno, PM Hatta, dan Panglima Besar Sudirman -- menyingkir ke luar kota, manakala kota diserang. Namun, rapat kabinet malah memutuskan, para pejabat sipil tidak perlu mengungsi. Padahal, Zulkifli Lubis sudah menyiapkan tempat pengungsian bagi para pemimpin negeri, di Wonosari Selatan. Karena itu, tidak heran jika kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO bekas overste ini berkata, "Saya kecewa terhadap Bung Karno. Terutama juga kepada Simatupang." Yang disebut terakhir ini adalah Kolonel T.B. Simatupang, Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang adalah perwira yang jumpa Soekarno di Istana dan seharusnya membujuk Soekarno untuk bergerilya, menurut pikiran Lubis. Lubis akhirnya meninggalkan Yogyakarta dengan hati dongkol. Sebab, ia pernah membayangkan Soekarno akan berlaku sebagai seorang Tito, Presiden Yugoslavia, yang berada di tengah laskarnya memimpin gerilya. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, yang mendudukkannya di kubu Kolonel Bambang Supeno, terbukalah pertikaian Zulkifli Lubis dengan KSAD Kolonel A.H. Nasution. Pertikaian itu menyebabkan batalnya pengangkatan Lubis sebagai Panglima TT (Tentara dan Teritorium) I Sumatera. Karena pertikaian itu jugalah ia memutuskan untuk menyembunyikan diri dan menolak panggilan atasan. Ketika terjadi upaya penggranatan atas diri Bung Karno di Cikini, 1957, ia merasa dirinya dikambinghitamkan. "Semua orang menuduh saya yang mendalangi peristiwa itu. Karena saya memang lagi buron," katanya. Padahal, Zulkifli Lubis mengaku dirinya "antikekerasan" dan "tidak punya problem pribadi dengan Bung Karno". Dan, ia pun merasa bersyukur ketika para pelaku Cikini di pengadilan tidak menyeret namanya. Namun, kekecewaannya terhadap pimpinan militer saat itu, dan ketidakpuasannya terhadap kebijaksanaan pemerintah, terutama yang menyangkut hubungan pusat-daerah, menyebabkan ia mengambil keputusan nekat: menggabungkan diri dengan PRRI. Di sana ia menjabat sebagai Koordinator Militer Sumatera. Gerakan separatis ini akhirnya bisa dilumpuhkan oleh ABRI. Zulkifli tertangkap dan dijebloskan ke dalam sel gelap selama 3 tahun 9 bulan, hingga 1966. "Siang hari pun, kalau mau baca koran, mesti pakai lilin. Panasnya di sel itu bukan main. Nyamuknya banyak," ujarnya mengenang. Kendati demikian, ia tidak ingin menyalahkan Bung Karno. "Sebagai pribadi, saya mengagumi beliau." Ia sendiri merasa pernah akrab di tahun 1947-an. Sebagai pimpinan intel, "Saya boleh memasuki kamar tidur beliau." Tahi Bonar Simatupang, 66. Yogyakarta, tahun 1949-1950. Setelah gagal dengan agresi bersenjata, Belanda masih mencoba memakai siasat lain untuk bisa kembali menjajah negeri ini. Untuk sementara, situasi kota kembali seperti semula. Kolonel Simatupang, yang belum lama kembali dari gerilyanya, menghabiskan malam itu melewati Jalan Malioboro. Di mana-mana orang sibuk mengelilingi penjaja gambar Bung Karno dengan pakaian kebesaran lengkap dengan segala atribut tanda jasa. "Mungkin Bung Karno memahami situasi psikologis masyarakat yang menginginkan presidennya tampil dengan uniform beserta tanda-tanda kehormatan," kata Simatupang, pekan lalu. Sebenarnya, ia tidak setuju. "Kalau rakyat dibiasakan melihat tokoh dengan atribut berlebih, maka rakyat akan melihat orang hanya dari seragamnya. Rakyat akan mengukur ketokohan seseorang dari busananya." Maka, pada kesempatan berikut. Simatupang menyampaikan kata hatinya kepada Bung Karno. Ia khawatir, jangan-jangan orang tanpa pakaian seragam dianggap warga kelas dua. Lalu bagaimana reaksi Bung Karno? Bung Karno agak marah mendengar teguran Simatupang. Namun, ia tidak menunjukkan sikap tersebut seketika. Melalui orang lain, Simatupang mengetahui betapa kesalnya Bung Karno terhadap intervensi Simatupang atas busananya. Yang pasti, bintang lima di pundak baju kebesaran Bung Karno, menurut Simatupang, bukan pemberian kalangan militer. Toh Pak Sim masih tetap mengagumi Bung Karno. "Yang pertama-tama, dan terutama, akan saya katakan, dan tetap akan saya katakan, saya melihat Soekarno adalah tokoh yang memberikan kepada kita hal yang paling berharga, yaitu Pancasila," ujar Pak Sim dengan serius. Selamat Ginting, 63. Ketua Umum Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) ini mempertanyakan pemberian gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Bung Hatta. "Apa manfaatnya?" tanya Ginting, agak bernada sinis, memang. Ia ingin gelar itu diberikan setelah ada evaluasi yang komprehensif atas perjalanan sejarah BK. "Masih banyak hal yang gelap atas Bung Karno," katanya. Ginting menyebut contoh pesatnya pertumbuhan PKI selama masa demokrasi liberal. Orang banyak menuduh, pesatnya PKI itu karena berlindung di bawah kharisma Bung Karno. "Sebetulnya, tidak begitu," ujar Ginting. Sistem politik yang amat terbuka dan kabinet yang mudah jatuh bangun itulah yang membuat PKI perkasa. Dan secara konstitusional, Bung Karno tak bisa mengontrol karena, kata Ginting, di luar wilayah kewenangannya. Juga berbagai aksi separatis: DI Kartosuwiryo, Daud Beureueh, PRRI sering disangkutkan dengan kegagalan BK memimpin negeri. Padahal, menurut Ginting, aksi itu timbul di masa kabinet parlementer "Karena para perdana menteri tak becus mengurus negara." Kesimpulan Ginting, "Kita terlalu mudah menyalahkan Bung Karno." Bekas Komandan Resimen Halilintar yang beroperasi di Tanah Karo, Deli Serdang, dan Langkat, ini mengaku tak pernah dekat dengan BK. Tetapi ia mengakui sangat dekat dengan ajaran BK, yakni marhaenisme. Dalam mengenang BK, Ginting mengaku dadanya sesak, "Bung Karno berkeinginan agar dimakamkan di suatu tempat di Jawa Barat, di bawah pohon rindang mengapa permintaan sederhana itu tak dipenuhi." Ginting aktif menjadi anggota DPRGR mewakili PNI. Tahun 1957-1966 dia aktif di DPP PNI, lalu tersingkir sewaktu Osa Maliki dan Usep menguasai PNI. Kini Ginting menjadi Ketua Umum GRM. Masih hidup GRM? "E, enak saja, masih ada, dan akan hidup terus," kata Ginting bersemangat. Amirmachmud, 63. Beberapa minggu setelah G-30-S/PKI pecah, Brigjen Amirmachmud, yang waktu itu menjabat Pepelrada Jakarta Raya (juga Panglima Kodam V) memimpin Barisan Soekarno. Barisan ini siap mengamankan dan berdiri di belakang garis kebijaksanaan Bung Karno. Namun, Amirmachmud, kini Ketua DPR/MPR, membantah mendirikan Barisan Soekarno. "Saya tak pernah membentuk barisan itu," katanya kepada Musthafa Helmy dari TEMPO. "Untuk mengatur keamanan politik, saya menyatakan bahwa rakyat Indonesia itu adalah Barisan Soekarno. Supaya utuh bulat, rakyat tidak diadu." Lantas, komentar tentang Bung Karno? "Penghargaan buat Bung Karno itu harus dikaitkan dengan Pancasila dan UUD 45. Dan itu jasa beliau. Yang mencanangkan politik kepribadian Indonesia itu 'kan beliau sendiri. Kepribadian itu sendiri tak lepas dengan Pancasila. Itu kita harus jujur," kata pelaku peristiwa Supersemar ini. Yang menonjol dari BK? "Ya, kepemimpinannya itu. Pencipta politik Indonesia itu 'kan beliau, harus kita akui," kata Amirmachmud sambil menuju mobilnya. Mohammad Natsir, 78. "Saya mengenal Bung Karno sejak tahun 1930-an, ketika sama-sama di Bandung. Saya sering kali mendengar pidatonya di depan umum. Ia punya bakat tinggi menggerakkan rakyat," inilah awal kenangan Natsir tentang BK yang disampaikan Senin lalu. Akrab sejak muda, tidak berarti sependirian dalam politik. Bung Karno mendirikan PNI, Natsir menjadi Ketua Jong Islamieten Bond dan kemudian memimpin Masyumi. "Namun, tak ada pertentangan terbuka. Malah, sewaktu Bung Karno diadili, golongan Islam turut membantunya dalam arti moril dan materiil. Waktu Bung Karno masuk penjara Sukamiskin, kalangan Islam pula yang mengirimi makanan dan buku bacaan. Perbedaan politik tidak berarti memutuskan hubungan manusiawi", kata Natsir. Setelah Proklamasi, hubungan dua tokoh dari partai berseberangan ini tetap saja baik. Bahkan BK meminta Natsir menyiapkan pidato untuk peringatan HUT Proklamasi pertama, 1946. Kedua tokoh ini berbeda pendapat lagi setelah Konperensi Meja Bundar. Natsir tak setuju hasil konperensi itu, BK sebaliknya. "Namun, saya tetap berjanji kepada Bung Karno untuk membantunya," kata Natsir. BK kemudian memberi jabatan PM kepada Natsir, tapi hanya berumur sembilan bulan, mandat itu dikembalikan Natsir. Beda pendapat pun meruncing. Apalagi di kemudian hari, Bung Karno membubarkan Masyumi. Bagaimanakah kini Natsir melihat BK? "Bersama Bung Hatta, Bung Karno merupakan figur pemersatu bangsa. Namun, jiwa Bung Karno adalah diktator. Bung Karno sebelum Nasakom merupakan orang yang dapat menerima kritik, mau berdebat. Tetapi, setelah Nasakom, ia berubah. Tetapi ia bukan seorang komunis," ini pengakuan Natsir. Gelar Pahlawan Proklamator itu ? "Ia layak mendapatkan penghargaan itu. Gelar itu tepat sebagai tokoh yang menjadi simbol perjuangan rakyat," ujar Natsir lebih lanjut. Tumpal Dorianus Pardede, 70. Tiga foto Bung Karno ukuran besar dipajang di kantor Yayasan Darma Agung di kompleks Universitas Darma Agung, Medan. Paling depan, foto Pardede yang sedang menerima ucapan selamat dari bekas Presiden Soekarno foto kedua, Pardede dilantik menjadi menteri urusan berdikari foto ketiga, Bung Karno berpakaian kepresidenan lengkap dengan tanda jasa. Ada tulisan tangh BK di sana, bunyinya: T.D. Pardede adalah tokoh masyarakat yang sukses menjadi wiraswasta secara berdikari. Pak Katua, panggilan Pardede, memang dekat dengan BK. Tokoh PNI ini mengagumi BK karena paham nasionalismenya. "Bung Karno dalam kepemimpinannya tak pandang bulu terhadap suku bangsa yang ada di Indonesia. Dalam merekrut stafnya, ia tetap mengikutsertakan semua suku, seperti Bugis, Jawa, Batak, Minang, dan Manado," kata Pak Katua. "Ajaran" ini diterapkan Pardede di Universitas Darma Agung. "Kalau dipilih suku Batak saja yang mengelola universitas ini, bisa hancur," katanya. Tak heran kalau pengusaha kaya ini menyambut gembira gelar Pahlawan Proklamator untuk Bung Karno. Cuma, ia tak mau berkomentar lagi tentang kepemimpinan BK. "Saya tak lagi terjun di politik. Salah ngomong, nanti orang tersinggung," kata Pak Katua. Haji Masagung, 60. "Saya sudah tahu bahwa Anda akan menanyakan soal Bung Karno kepada saya, sebelum Anda bertanya," kata Haji Masagung, pengusaha keturunan Cina yang gemar tosan aji ini, kepada Haji Musthafa Helmy dari TEMPO. "Sejak enam bulan lalu, saya yakin pemerintah akan menetapkan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pahlawan." Masagung memang dekat dengan keluarga BK. Sejak kapan? "Sejak Bung Karno mengalami masa sulit, 1967, sampai akhir hayatnya," katanya. "Semuanya karena Allah." Masagung yang banyak menerbitkan buku-buku tentang Bung Karno lalu menceritakan sebuah lukisan tentang Sunan Kalijaga, Bung Karno, dan dirinya yang berurutan dalam tingkat-tingkat. "Itu lukisan H. Jasin Assiri, dibuat sebelum saya mengenal dia. Menurut pelukis paranormal ini, Bung Karno masih keturunan Sunan Kalijaga. Lalu gambar saya di bawah gambar Bung Karno itu, maksudnya, saya mewarisi semangat persatuan Bung Karno," ceritanya. Tentang gelar pahlawan untuk BK? "Ini sebenarnya kehendak Allah. Saya bersyukur sekali, meskipun terlambat datangnya," katanya. Dria Candra Adityanti, 25. Gadis manis berambut sebahu ini adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Omar Dhani, Menteri/Panglima Angkatan Udara di masa Bung Karno. Karena ayahnya dekat dengan BK, layak jika ada potret BK bersama Adityanti yang masih bocah. "Setelah SMP, baru timbul kesan pada diri saya, wah, asyik juga bisa berfoto dengan Presiden," kata mahasiswi Jurusan Sosiologi (tinggal skripsi) FISIP UI ini kepada Mohamad Cholid dari TEMPO. Mahasiswi yang sudah mengikuti penataran P4 pada 1984 ini mengaku lebih tertarik pada masalah sosial, ketimbang politik. Toh, ia tak melepaskan perhatiannya pada perjalanan politik BK-yang ia ketahui justru setelah dewasa, lewat buku bacaan, juga cerita dari ayahnya. Kritiknya kepada BK adalah, "Perpecahannya dengan Bung Hatta saya sesalkan, kenapa Bung Karno harus meninggalkan Bung Hatta. Bukankah untuk konsolidasi ke dalam ia memerlukan Bung Hatta?" Poligami yang dijalankan BK juga dikritik Adityanti. "Ini tentu saja tak terlepas dari kewanitaan saya. Meskipun tindakannya itu menunjukkan bahwa dia tidak munafik," katanya. Tapi gadis ini tak cuma bisa mengkritik, ia pun tidak menyembunyikan kekagumannya kepada BK, tokoh yang baru benar-benar ia kenal pada saat sudah duduk di bangku kuliah. P.S.

15 November 1986
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/11/15/NAS/mbm.19861115.NAS36228.id.html

Yoga Sugomo (1925-2003)

Yoga Sugomo (1925-2003)
Oleh P. Hasudungan Sirait

SOEHARTO kembali melihat seorang pembantu dekatnya pergi. Kali ini seorang yang sangat spesial. Yoga Sugomo meninggal Rabu 23 April 2003 lalu di Jakarta dalam usia memasuki 78 tahun. Arti penting Yoga? Soeharto mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun.
Kelanggengan power-nya merupakan khasiat pendekatan keamanan yang dikombinasikan dengan pendekatan intelijen, seperti yang dilukiskan George Orwell dalam novel 1948. Dalam hal ini Yoga adalah salah satu figur yang paling ia andalkan terutama pada paruh pertama rezimnya.
Ada sejumlah jenderal yang menjadi pembantu dekat Soeharto saat ia mengonsolidasikan kekuasaannya. Tapi kedekatan mereka berlapis. Pada pertengahan 1970-an, seperti ditulis David Jenkins dalam bukunya, Suharto and His Generals—Indonesia Military Politics 1975-1983 (Cornell University, 1984), the inner core group Soeharto yang terpenting ada empat. Yaitu Yoga Sugomo, Ali Moertopo, Benny Moerdani dan Sudomo. Tiga yang pertama berlatar belakang intelijen militer sedangkan yang terakhir, Sudomo, orang sekuriti.
Setelah membersihkan elemen kiri, Orde Baru perlu menjamin posisi serta melempangkan langkahnya. Sejumlah instrumen kekuasaan khas masa darurat digerakkan. Yang paling menonjol adalah Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), Opsus (Operasi Khusus) dan Bakin.
Ketiga lembaga ini menjalankan fungsi intelijen, dengan kewenangan yang ekstra ordiner khususnya untuk Kopkamtib dan Opsus.
Di sini posisi Yoga sangat sentral. Ia pernah menjadi petinggi di Bakin dan Kopkamtib, selain di Gabungan 1 (G-1) Hankam dan Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) Hankam. Saat menjadi Kepala Bakin (Kabakin), tahun 1978 ia dipercaya Soeharto merangkap sebagai Kepala Staf Kopkamtib.
Mengomentari kedudukannya yang luar biasa itu Yoga pernah mengatakan bahwa di negara mana pun belum pernah ada yang berposisi seperti itu, kecuali Himler. Himler adalah direktur SS (Reichsfuhrer), polisi rahasia Nazi. Bedanya, menurut Yoga, Himler bisa berbuat apa saja dan hanya bertanggung jawab kepada Hitler, sedangkan dirinya bertanggungjawab kepada parlemen dan pemerintah (Richard Tanter, Intelligence Agencies and Third World Militerization: A Case Study of Indonesia, 1966-1989—thesis Ph.D di Monash University, 1991).
Kunci kekuatan posisi Yoga Sugomo adalah kedekatan hubungan pribadinya dengan Soeharto. Kedekatan keduanya sudah sejak lama, yaitu ketika mereka masih sama-sama di Teritorium IV-Diponegoro. Hal ini diceritakan dalam kitab Memori Jenderal Yoga (B. Wihoho dan Banjar Chaeruddin—1990).
Dikisahkan bahwa sebagai asisten intelijen (As Intel) Yoga mulai sering berhubungan dengan Soeharto menjelang Pemilu 1955. Saat itu Soeharto menjadi penanggungjawab keamanan Pemilu di Jawa Tengah bagian timur. Namun sejauh itu relasi mereka masih sebatas profesional. Sebuah situasi kemudian membuat afeksi keduanya saling bertaut untuk seterusnya.

Golkan Soeharto
Pertengahan 1956 pimpinan Angkatan Darat (AD) hendak menjadikan Kol. Bambang Supeno sebagai panglima TT-IV Diponegoro menggantikan Kol. M. Bachrum.
Yoga dan sejumlah perwira Diponegoro menolak rencana itu dengan alasan penempatan Bambang Supeno akan merebakkan konflik di lingkungan TT-IV, sebab Bambang Supeno, perwira yang pernah mengajukan keberatan kepada Presiden Soekarno sehubungan dengan rencana AD untuk mengurangi personilnya, sangat dekat dengan Wakil Kepala Staf AD (Wakasad) Zulkifli Lubis.
Lubis saat itu sedang menjadi sorotan karena mencoba menggalang dukungan di sejumlah kesatuan di Jawa Barat. Di samping itu, masih pada pertengahan 1956, anak buahnya menangkap Menlu Roeslan Abdulgani dengan tuduhan memanipulasi dana. Di masa itu kabinet sering jatuh bangun. Para perwira pun berpolitik sehingga kepemimpinan di AD labil.
Yoga yang secara pribadi sebenarnya dekat juga dengan Zulkifli Lubis, bahu-membahu dengan sejumlah perwira Diponegoro untuk menggagalkan pengangkatan Bambang Supeno. Salah satu yang ia lakukan adalah mengkondisikan di lingkungan Divisi Diponegoro dan AD agar Soeharto saja yang menjadi panglima TT-IV.

Untuk itu ia menugasi secara khusus anak buahnya, Ali Moertopo. Dalam sebuah tulisan di buku Memori Jenderal Yoga, Ali mengungkapkan bahwa saat menjalankan tugas khusus inilah ia menjadi dekat secara pribadi dengan Yoga.
Bersama Suryo Sumpeno, Yoga kemudian menjadi utusan kelompok penolak Bambang Supeno di TT-IV untuk menemui Wakasad Zulkifli Lubis di Jakarta. Alhasil Letkol Soeharto, Kastaf TT-IV, yang menjadi panglima merangkap Penguasa Perang Daerah (PPD). Pangkatnya segera dinaikkan menjadi kolonel.
Soeharto tak melupakan jasa baik mereka yang telah mendukungnya. Yoga yang sejak tahun 1955 (hingga 1959) menjadi Asisten Intelijen dipercaya merangkap sebagai Wakil Kepala staf Harian PPD. Sedangkan Ali Moertopo yang sebelumnya selalu di pasukan tempur ditarik menjadi staf di Asisten V teritorial. Seorang lagi yang ditarik Soeharto ke staf adalah sahabat Ali Moertopo, Sudjono Humardani. Yoga, Ali dan Sudjono kelak akan selalu di lingkaran dalam Soeharto setelah panglima tersebut menjadi orang nomor satu.

Jalur intel
Kalau membaca memoarnya akan terlihat adanya dua figur yang besar pengaruhnya dalam perjalanan karir Yoga Sugomo. Yakni Zulkifli Lubis dan Soeharto.
Yoga lahir di Tegal pada 12 Mei 1925. Sewaktu masih di bangku kelas III AMS (setara SMU) ia mendapat kesempatan untuk bersekolah di akademi militer Jepang (Rikugun Shikan Gakko), Tokyo, tahun 1942. Ia masih menjadi siswa di sana saat Sekutu membom Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Saat keadaan serba sulit di Jepang, di sana ia diterima bekerja di markas Sekutu sebagai penerjemah. Secara tak langsung di markas itulah ia mulai mengenal dunia intelijen.
Setelah dua tahun di markas sekutu ia kembali ke Tanah Air dan bekerja di Kementerian Pertahanan, Yogyakarta. Sesudah Agresi Belanda (Desember 1948) ia menjadi perwira intelijen di Staf Teritorium Militer (STM) merangkap Asisten I (Intelijen) Brigade Gunung Jati, Banyumas. Seusai penyerahan kedaulatan (1949) ia ditarik ke Departemen Pertahanan/ Staf Angkatan Perang, Jakarta. Di sana ia menjadi staf Zulkifli Lubis, Kepala Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Ia segera akrab dengan Lubis, orang yang sering disebut sebagai bapak intelijen Indonesia. Dari Lubis ia mendapat pengetahuan yang luas ihwal situasi politik dalam negeri.
Adalah Zulkifli Lubis yang mengirim Yoga belajar ke dinas intelijen Inggris MI-6, di Maresfield. Selulus dari MI-6 ia kembali ke Jakarta dan menjadi anak buah Zulkifli Lubis. Tapi sebentar saja. Ia kemudian dikirim ke Semarang sebagai Asisten I (Intelijen) TT-IV Diponegoro. Waktu itu panglima TT-IV adalah Kol. M. Bachrum. Tak begitu jelas mengapa Zulkifli Lubis melepas anak didik yang telah ia sekolahkan di MI-6 itu ke Diponegoro. Bukankah intel hasil sekolahan profesional sangat ia butuhkan saat itu? Sebuah jawaban yang mungkin adalah untuk membendung penetrasi PKI. Saat itu sejumlah perwira TT-IV merupakan kader PKI.
Setelah bergabung dengan TT-IV yang menjadi kiblat Yoga tampaknya tidak lagi Zulkifli Lubis melainkan Soeharto. Seperti telah disebut, gerakan untuk menolak Bambang Supeno sebagai panglima TT-IV telah mendekatkan Yoga ke Soeharto. Hubungan Soeharto dengan Lubis sendiri saat itu tak begitu jelas seperti apa. Yang pasti, setelah menjadi panglima TT-IV Soeharto pernah mengutus Yoga menemui Lubis di Jakarta untuk meminta agar petinggi AD yang anti-PKI itu menghentikan upayanya menggalang kekuatan militer di daerah. Lubis yang telah dipecat sebagai Wakasad dan memilih bersembunyi menyatakan akan tetap bergabung dengan PRRI-Permesta. Alasannya, ungkap Yoga, pemerintah sudah terlalu condong ke kiri.
Pada penghujung 1956 sejumlah daerah bergolak. Pemberontakan PRRI-Permesta kemudian meletus. Zulkifli Lubis menjadi salah satu tokoh sentral gerakan yang menentang Jakarta ini.
Untuk memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta Divisi Diponegoro mengirim dua Resimen Tim Pertempuran (RTP) ke Sumatera Barat. Yoga Sugomo yang sebelumnya selalu di jurusan intelijen meminta agar dirinya diikutkan di satuan tempur. Motif Yoga, seperti ia ungkapkan, adalah untuk mencari pengalaman sekaligus untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan pengikut fanatik Zulkifli Lubis. Soeharto setuju. Yoga dipercaya menjadi komandan RTP II. Kepala Stafnya adalah Katamso. Mereka berangkat ke Bukittinggi awal 1959. Ternyata, setelah beberapa bulan Katamso dipindahkan ke Riau. Sebagai penggantinya Yoga mengusulkan nama Ali ke panglima Diponegoro, Soeharto. Ternyata diluluskan. Saat berduet dengan Yoga-lah, kata Ali, ia mendalami seluk-beluk dunia intelijen.
Pada Februari 1961 PRRI/Permesta menyerah secara massal. RTP II kembali ke induknya di Semarang. Ternyata nama divisi itu sudah berubah, dari TT-IV menjadi Kodam VII Diponegoro. Panglimanya juga sudah bukan Soeharto. Panglima baru adalah Pranoto Reksosamodra. Sedangkan Soeharto, ia disekolahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD), Bandung, sebagai hukuman. Ia dituduh memperkaya diri lewat Yayasan Pembangunan Teritorium Empat.
Dianggap sebagai anggota ‘klik Soeharto’ Yoga diasingkan oleh pimpinan baru Diponegoro. Tak tahan, ia pun ribut dengan pimpinan sehingga dihukum. Ganjarannya, sama seperti Soeharto, disekolahkan ke Seskoad Bandung (1961-1962). Selulus dari Seskoad ia diberi dua pilihan: menjadi instruktur Seskoad atau menjadi atase militer. Yoga memilih yang terakhir. Ia menjadi atase militer di Yugoslavia (1962-1965).
Di tahun ketiga menjadi atase militer Yoga disuruh pulang oleh Panglima Kostrad Soeharto dengan alasan PKI sudah semakin kuat. Pada Februari 1965 Yoga telah menjadi Asisten I (Intelijen) Kostrad. Tujuh bulan kemudian peristiwa G30S terjadi.
Soekarno tumbang dan Soeharto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera. Berkahnya bagi Yoga, ia menduduki pelbagai posisi strategis. Soeharto menugasi dia membentuk Komando Intelijen Negara (KIN) untuk menggantikan BPI (Badan Pusat Intelijen) yang dipimpin Soebandrio. Tahun 1966 KIN terbentuk. Soeharto menjadi Ketua sedangkan Yoga menjadi Kepala Staf Harian. Tahun 1967 KIN menjadi Bakin. Ketuanya masih Soeharto dan wakilnya Brigjen Sudirgo. Setahun berselang Sudirgo, perwira CPM, ditangkap dengan tuduhan terlibat G30S. Yoga menggantikan dia sebagai Wakabakin. Soeharto melepaskan jabatan Kabakin ke Yoga setahun kemudian. Yoga menjadi Kabakin pada 1968-1969.
Jabatan lain yang pernah ia pegang di masa penentuan nasib Orde Baru itu adalah Wakil ketua G-1 KOTI (1966-1967), Asisten I Hankam (1967-1968). Setelah tak menjadi Kabakin ia menjadi Ketua G-1 Hankam merangkap Komandan Satgas Intel Kopkamtib, Asisten Intel Kopkamtib dan Kepala Pusat intelijen Strategis Hankam (1969-1971).
Tapi mendadak sebuah sabatose membuat karirnya di jalur resmi intelijen terputus. Dalam perjalan dinas ke Jerman koper stafnya, Sekretaris G-1, hilang di pesawat saat mereka berdua stop-over di Singapura. Koper itu berisi dokumen penting. Akibatnya fatal. Yoga dihukum. Ia menjadi wakil Kepala Perwakilan RI di PBB, New York.
Terbilang lama Yoga di New York (1971-1974). Saat karir intelijennya sudah seperti berakhir, prahara terjadi di Jakarta yaitu Peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari 1974). Lima hari setelah Malari, Soeharto menyuruh Yoga pulang ke Jakarta. Ia kembali ditugasi memimpin Bakin menggantikan Sutupo Yuwono. Sutopo Yuwono, yang dalam konteks pertarungan kubu Pangkopkamtib Sumitro versus kubu Ali Moertopo dianggap sebagai pendukung Sumitro, didubeskan ke Belanda sebagai hukuman. Yoga kembali memimpin Bakin sampai ia pensiun tahun 1989. Sebuah rekor terlama, 14 tahun. Sepeninggal Yoga, pamor Bakin merosot. Fungsi eksekutifnya diambil-alih BAIS, lembaga yang dirancang oleh Benny Moerdani.

*penulis adalah Ketua Dewan Redaksi majalah Tapak

Copyright © Sinar Harapan 2003
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/26/sh04.html